Kematian Miftahul Dwi Khasanah, seorang anak TKW, siswi kelas II SMP Maarif Ponorogo, akibat ditabrak sepeda motor menjadi trending di Facebook. Bukan hanta karena dia tidak pernah bertemu Ibunya, namun juga karena kisah hidupnya yang mandiri dan kedermawanan bapaknya yang walaupun kekurangan tetapi menyedekahkan sebagian hasil sumbangan masyarakat.



Peristiwa naas dialami Miftah terjadi saat ia pulang menggunakan sepeda ontel menuju rumahnya usai mengantar teman sekolahnya di Perumahan Singosaren, Ponorogo. Saat menyeberang jalan raya, tiba-tiba, muncul sepeda motor Suzuki FU yang dikemudikan FD. Tabrakan pun tak dapat dihindari.

Miftah roboh ke jalan aspal dan kepalanya bersimbah darah. Sehari kemudian, Miftah mengembuskan napas terakhirnya di RSU Madiun sebelum sempat dioperasi kepalanya lantaran mengalami pendarahan di bagian otak.

"Sejak berangkat delapan tahun tepatnya tahun 2008, istri saya tidak memberikan kabar dan kiriman apa pun kepada kami," kata Pujo, Bapak Miftah

Istrinya baru menelepon tiga hari setelah Miftah dikuburkan. Tak banyak omongan yang dilontarkan Samini saat menelepon suaminya, Pujo.

"Dia hanya menanyakan kabar anak-anaknya, lalu menangis. Katanya nanti akan pulang ke Ponorogo setelah 40 hari meninggalnya Miftah," ujar Pujo.

beberapa hari sebelumnya, saat mencuci pakaian Miftah, dia menemukan secarik kertas yang dilipat.

"Setelah saya buka, ternyata tulisan curahan hati Miftah yang merindukan kasih sayang seorang ibu. Sebagai seorang anak yang memiliki orangtua, Miftah juga menginginkan kasih sayang ibu yang dirasakan oleh teman-teman sekolahnya. Kondisi itu sangat dirasakan anak saya lantaran Miftah mulai ditinggal ibunya bekerja ke Malaysia dalam usia lima tahun," kata Pujo.

Selama delapan tahun ditinggalkan ibunya bekerja di Malaysia, Miftah tidak pernah mendapatkan kiriman apa pun, baik dalam bentuk uang maupun barang. Saat Lebaran tiba, ibunya juga tidak menyampaikan selamat dan permohonan maaf.



"Saya kalau ingat Miftah sangat kasihan. Beberapa hari sebelum meninggal, dia kerap melamun dan seperti berpikir keras. Miftah juga sering menanyakan kapan ibunya pulang karena ia sangat kangen ibunya," kata Pujo.

Kendati mendapatkan berlimpah bantuan, Pujo tak lupa menyisihkannya untuk sedekah. Bahkan, sedekah itu salah satunya ditujukan di tempat mengaji saat Miftah masih tinggal di Madiun.

"Saya juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang sudah peduli dengan Miftah dan keluarga saya. Saya yakin Tuhan akan membalas kepada semua pihak yang sudah membantu kami," kata Pujo. (Sumber: kompas)


>