Dia mendirikan yayasan tersebut karena pengalaman dirinya sendiri. Ia mengisahkan pada 2010, ibu kandungnya dinyatakan dokter positif mengidap kanker payudara. Saat butuh biaya untuk pengobatan ibunya, majikan malah tak membayarkan upah kerjanya. Akhirnya, sang ibu meninggal dunia tahun itu juga karena tak mendapat perawatan layak.
Banyak kisah itu kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, tak hanya di media sosial tapi juga dicetak di kertas. Kisah yang ditulis dan dicetak di kertas itu selanjutnya dijual ke teman kerja di Hong Kong dengan harga saat itu senilai Rp 10 ribu per cerita. Banyak rekan sesama TKW di Hong Kong mau membeli. Duit hasil penjualan tulisan itu disimpan dan dikirim ke Syaiful Bahri agar dikelola bersama komunitas sosialnya.
Sampai akhirnya di tahun 2014 Mifta berhenti bekerja sebagai TKW dan pulang ke Indonesia agar lebih fokus mengelola yayasan. Sampai saat ini, masih ada beberapa rekan TKW di Hong Kong yang rutin mengirim uang ke Mifta untuk kegiatan sosial itu.
Donasi yayasan Mifta saat ini tak hanya dari buruh migran saja. Beberapa dokter di rumah sakit juga mau membantu jadi donatur. Yayasan ini juga sudah bekerja sama dengan sebuah perguruan tinggi untuk menggelar pengobatan gratis.
"Kami terbuka ke siapa yang yang membutuhkan bantuan, siapa saja bisa datang. Kami berharap akses kesehatan itu bisa dijangkau orang tak mampu," tutur Mifta. (Sumber: liputan6)
>