Sunarsih (26) mengelus perutnya berulang kali dengan penuh kasih sayang, ada senyum yang mengembang di sudut bibirnya. Ia mengaku belakangan ini merasa mudah capek, meski tidak melakukan aktivitas yang berat.



"Bayi yang saya kandung sudah masuk usia delapan bulan. Hasil pemeriksaan USG sih bayinya cowok," ujarnya dengan mata berbinar.

Asih, begitu nama panggilannya, merasa nasibnya lebih beruntung dibanding rekan-rekan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) lain di Taiwan yang sedang hamil. Asih lantas berkisah panjang tentang masalah yang timbul saat ia hamil dan sedang dalam kontrak kerja dengan majikan.

"Suami sudah lebih dulu bekerja di Taiwan dibanding saya. Kami kemudian menikah di sini dalam pernikahan massal yang digelar Kantor Dagang Ekonomi Indonesia (KDEI)," ujarnya.

Semula pernikahan tersebut tak menimbulkan masalah, majikan pun mendukung bila keduanya menikah. Bahkan, Asih bersama suami diizinkan bertemu di rumah majikan seminggu sekali ketika suaminya yang seorang ABK sedang libur. Namun beberapa bulan setelah mengetahui dirinya hamil, ia mengaku majikannya tak bisa menerima kondisi tersebut.

loading...
loading...


"Saya keluar dari rumah majikan menuju tempat penampungan atau shelter hanya dalam sehari. Jadi status saya tidak ilegal sehingga asuransi kesehatan juga masih berlaku," jelasnya.

Saat ini Asih tinggal bersama 17 TKI bermasalah lainnya di shelter yang berada di wilayah Taichung tersebut. Di tempat itu, KDEI memberikan fasilitas makan, cek kesehatan hingga pelatihan keterampilan untuk bekal pulang ke Indonesia. (Sumber: Antara)


>