Ketika kita membaca berita tentang maid abuse – entah itu penyiksaan, pemerkosaan, penyekapan dan gaji yang tak dibayar, pikiran kita secara otomatis tersetir pada asumsi bahwa buruh migran selalu identik dengan pelecehan hak asasi manusia. Tapi bagaimana jika pelecehan itu diciptakan oleh buruh migran sendiri? Terutama bagi mereka yang dengan suka rela menjalin romansa cinta di negeri seberang. meski pada kenyataannya mereka telah memiliki keluarga – suami – di negara asal.
loading...
Dalam buku Maid in Singapore, Crisanta Sampang menyebutkan bahwa meskipun dilakukan tes kehamilan dua kali setahun oleh MOM (mentri ketenagakerjaan Singapura), sedikit banyak dari mereka yang melakukan hubungan seksual dengan pacarnya, mengalami kehamilan, melakukan aborsi atau lari dengan suami orang lain.
Hal ini juga terekam dari pembicaraan para TKW – baik interview secara eksklusif atau cuma cerita dari TKW lain. TKW yang nakal, biasanya menjadikan pacarnya sebagai penjamin hidup selama mereka bekerja di negara tersebut. Hal ini bukan rahasia lagi di sini. Seperti pengakuan salah satu TKW yang menjalin hubungan dengan apek – sebutan laki-laki China setengah tua. Dia mengaku telah mendapat jatah yang setara dengan gajinya perbulan. Belum lagi pulsa, belum lagi kebutuhan lain.
“Ya, cuma disuruh menemaninya di hotel.” katanya blak-blakan.
Hotel? Ya! Sama dengan pasangan lain di Indonesia, di Singapura, mereka juga menggunakan sarana hotel sebagai tempat memadu cinta. Ada beberapa hotel yang bisa mudah dibooking hanya dengan menunjukkan work permit atau surat ijin kerja. Seperti misalnya motel-motel di daerah Gaylang- yang diklaim sebagai low-price destination, tempat favorit bagi pecinta karena murah dan bisa disewa perjam. Atau kalau tidak, wanitanya sendiri yang datang ke barak-barak para pekerja konstruksi dan menghabiskan waktu sehari bersama layaknya suami istri. (sumber: kompasiana)