Esther Pauline Lachmann menggugat nasib yang 'digariskan' bahkan sebelum lahir. Lahir sebagai gadis miskin, Esther berobsesi menjadi wanita kaya dengan menjadi pelacur dan akhirnya menjadi lagenda.



Pada usia 17 tahun ia menikah dengan seorang penjahit yang mengidap TBC dan melahirkan anak laki-laki. Perempuan muda itu merasa masa depannya suram. Gelap, tanpa harap.

Ia pun nekad. Minggat. Dari Rusia, ia menuju Berlin, Wina, Istanbul, dan akhirnya ke Paris, meninggalkan suami tanpa talak cerai, menelantarkan putranya. Sendirian, tanpa bekal, tak berpengetahuan, hingga akhirnya terjebak lingkaran prostitusi.

Esther melacurkan diri di maison de passé, losmen murah dan mesum tempat para pelacur berkerumun, menanti pria-pria hidung belang yang datang dan pergi silih berganti. Di Prancis ia memakai nama Therese.

Suatu hari Esther alias Therese mengalami 'pencerahan'. yakni bahwa nasib seseorang bisa diubah lewat upaya keras dan tekad baja. Kemudian selama 3 tahun ia menutup diri menyingkir sejenak dari dunia.

Maka pada 1841, saat berusia 22 tahun, ia pergi ke Kota Ems, Prusia, membawa koper penuh gaun malam pinjaman dan perhiasan imitasi. Misinya satu: mencari suami kaya. 

Di sana ia memikat Henri Herz, pemusik berada yang memberinya uang dan perhiasan asli, juga membuka pergaulannya di kalangan seniman besar pada eranya. Namun peruntungannya redup saat Herz pulang kampung ke Amerika Serikat, Hartanya lalu digugat. 

London kemudian jadi tujuannya. Bahkan pada hari-hari pertamanya di London, Esther berhasil memikat aristokrat kaya, lalu, seorang bangsawan (marquis) asal Portugis, Albino Francesco Araújo de Païva. Dari suami barunya itu, Therese mendapatkan nama tenarnya: La Paiva. 

Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan dari sang marquis: uang, status, dan nama besar sebagai Marquise de la Paiva, wanita itu pun menuntut cerai. "Pulang ke Portugal, aku tetap tinggal di sini dan tetap menjadi pelacur," tulis dia. 

Saat kembali ke dunianya yang cabul, Therese alias La Paiva bukan penjaja cinta biasa. Status bawaan sebagai ningrat Eropa menjadi modalnya menggaet pelanggan kaya: para aristokrat, baron, penulis terkenal, seniman, dan orang-orang berpengaruh.

Setelah Kaya raya, La Paiva pun punya hobi baru, mengoleksi perhiasan berukuran besar lagi mahal. Permata, berlian, ia anggap sebagai 'anak-anaknya'. Padahal darah dagingnya sendiri tak ia pedulikan.

Pesonanya memikat Count Henckel von Donnersmarck, orang terkaya di eropa yang juga bangsawan Prusia yang usianya jauh lebih muda 12 tahun. Donnersmarck yang cinta mati pada La Paiva menghujaninya dengan harta benda. 

Ia juga membiayai pembangunan hotel untuk perempuan itu di lokasi paling glamour di Paris, bahkan Eropa: 25, avenue des Champs-Élysées. Istana dari abad ke-16 itu diubah menjadi Hôtel de la Païva, mansion yang didedikasikan untuk memuaskan nafsu duniawi dan pesta foya-foya paling tak bermoral digelar di sana.



Bangunan itu sungguh megah, tangganya dilapisi emas, marmer dan onyx diimpor dari Aljazair, juga bak mandi mewah yang diisi susu atau sampanye untuk berendam. Kaisar pun kagum dibuatnya. 

Hingga pada 1871, peruntungannya kian surut. Perang Prancis-Rusia pecah. La Paiva dituduh jadi mata-mata Jerman. Di gedung opera, orang-orang yang dulu berkerumun di dekatnya beringsut menjauh. 

Pada 1884, La Paiva tutup usia. Suaminya yang patah hati tak mau menguburkan jasadnya. Jenazah La Paiva dibalsem dengan cairan alkohol. Selama berbulan-bulan, duda yang merana itu menangisi pasangannya yang telah tiada. 

Pada 1901, Kaisar Wilhelm menganugerahi Henckel von Donnersmarck dengan gelar Fürst--ranking tertinggi dalam kebangsawanan Jerman. La Paiva, meski sudah jadi mendiang, berhak dipanggil 'putri'.

Peninggalannya pun masih bisa ditemui saat ini. Lewat mansion mewahnya di Champs Elysee. Terletak di depan bioskop Gaumont dan toko souvenir resmi klub sepak bola Paris St Germain. (Sumber: Liputan6)


>